Pride And Prejudice
Sambutan hangat dari pembaca membuat nama Jane Austen semakin besar. Karya-karya Jane Austen tersebut juga tak lekang dimakan zaman. Terbukti bahwa novel-novel Jane Austen juga masuk dalam deretan sastra populer dan diangkat ke layar lebar. Menurut saya semua pemeran di film ini sudah sesuai, keculai Mr. Collins yang seharusnya jangkung. Tapi penggambaran karakternya yang sok, konyol, dan memalukan memang oke banget.
Adalah Wentworth Woodhouse, sebuah bangunan megah di Inggris, yang menginspirasi Jane Austen untuk membuat novel Pride & Prejudice. Satu hal yang menurut saya agak “kebablasan” dalam kemerdekaan merombak novel ini ke film adalah adegan nego harga novelnya Jo ke Penerbit yang tidak ada di buku. Ini bisa dibenarkan sebetulnya, mengingat novel Little Women sendiri sejatinya adalah “semi autobiography” dari Sang Pengarang Louisa May Alcott, yang mungkin saja adegan itu menggambarkan cara beliau menjual novelnya, sekaligus meningkatkan porsi “lady energy” di sisi Jo. Lalu ada satu hal lagi, yaitu karakter Professor Friedrich Bhaer, lelaki yang diam-diam naksir Jo di New York, sejatinya di buku digambarkan sebagai orang Jerman, berusia tak muda dan jelek pula, namun di movie ini menjelma jadi pria Perancis nan tampan menawan.
Jadi gini, konon novel Little Women – dengan judul alternatif “Meg, Jo, Beth and Amy” ini – sejatinya terbagi dalam dua jilid yang awalnya diterbitkan terpisah. Singkatnya, Jilid Satu dan Jilid Dua terpaut beberapa tahun dalam penceritaan. Ini sebenarnya jadi beban untuk karakter Amy, si Bungsu yang diperankan dengan baik oleh Florence Pugh.
Lagipula, di novel-novel Jane Austen – meski sama lambat ritmenya seperti novel Little Women – pengembangan karakternya tidak diperoleh melalui nasihat dari satu karakter “tanpa dosa”, yang kalau di Little Women ada Bunda Marmee. Para Ibu di novel-novel Jane Austen tak pernah digambarkan sesempurna Bunda Marmee yang super baik hati dan penyabar, meski beliau pernah mengaku ke Jo bahwa dia aslinya bukan penyabar, dan bahwa sabar itu bukan terlahir melainkan hasil usaha yang panjang. Very good deh pokoknya Bunda Marmee ini, beda dengan Ibunya Lizzie yang cerewet, doyan gosip, panikan, nekatan, dan lain-lain yang buruk namun tetap cinta mati sama anak-anaknya seperti Ibu-Ibu pada umumnya. Keluarga March dan Bennet sama-sama Middle Class, dimana wanita biasanya tidak bekerja namun tetap mengenyam pendidikan demi bersosialisasi di kelasnya.
Dari rumah pedesaan di Inggris mereka harus bisa bertahan hidup dari gempuran zombi, makhluk jejadian pemakan daging. Sejak kecil mereka dilatih orang tua mereka untuk bertarung dengan tangan kosong, pisau, pedang hingga senapan.
Sayangnya, hanya bukulah yang bisa mereka “lahirkan” ke dunia, bukan anak, mengingat sampai akhir hayat di usia yang belum senja, mereka tidak menikah. Apakah itu pilihan atau keterpaksaan dalam hidup Sang Penulis tidak akan saya bahas disini karena ini adalah resensi movie , namun jelas tertuang dalam karakter utama novel mereka bahwa Pernikahan pada awalnya bukanlah cita-cita, bahkan dihindari kalau bisa. Kedua novel itu tidak memberi jawaban absolut, namun kita bisa tahu dari ending novel dan movie bagaimana norma umum kemasyarakatan menuntut wanita dalam memilih. Lihat saja kisah-kisah dongeng putri salju atau si cantik dan si buruk rupa.
PRIDE AND PREJUDICE, Keira Knightley, 2005, Focus Features/courtesy Everett CollectionElizabeth Bennet adalah karakter perempuan yang secara fisik biasa-biasa saja, tapi bermata indah dan memesona karena kecerdasan serta sifat ceria yang dimilikinya. Dan Keira banyak dicela karena dianggap terlalu cantik untuk memerankannya. Austen sendiri menyebut Lissy memiliki wajah yang tirus seperti Keira. Dan fakta bahwa kecantikannya kalah menonjol daripada Jane juga sesuai dengan buku.
Mendengar bahwa Elizabeth menolak lamaran Mr.Collins, Mrs Bennet pun langsung memarahi Elizabeth dan menyuruh Mr.Bennet membujuk Elizabeth menerima lamaran Mr.Collins, namun bukan malah ditanggapi baik oleh suaminya, Mr.Bennet malah setuju atas sikap Elizabeth. Akibat dari semua ini Mrs.Bennet marah dan tidak mau berbicara dengan Elizabeth. Namun undangan ini tidak mendapatkan tanggapan yang baik dari Mr.Bingley karena Mr.Bingley tidak bisa terlalu lama berada di Netherfield karena harus segera kembali ke London karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
Dan pada suatu hari dikarenakan kesenangan Miss.Bingley terhadap Jane, maka dia pun mengundang Jane untuk mau berkunjung ke rumahnya di Netherfield. Dan mendengar hal itu ibunda Jane sangat senang atas kunjungan itu dan menyuruh Jane untuk mau berkunjung ke Netherfield dan akhirnya Jane pun berkunjung ke Netherfield dengan kuda. Mendengar kejadian itu Elizabeth merasa sangat cemas terhadap kakaknya dan itu sangat berbanding terbalik dengan ibunya yang merasa sanghat senang atas kejadian itu sehingga akan membuat Jane akan tinggal lebih lama di Netherfield bersama Mr.Bingley. Mr. Bennet memberikan persetujuannya setelah Elizabeth meyakinkannya tentang cintanya untuk Mr. Darcy. Mereka akhirnya menikah dan berbahagia bersama di luar Pemberley.
Pride And Prejudice Dikisahkan Ulang Dari Perspektif Pelayan
Film ini berkisah tentang cinta dan kehidupan masyarakat Inggris pada abad ke-18. Di zaman itu diceritakan bahwa pernikahan, etika, kesopanan, dan kekayaan adalah isu sosial di masyarakat.